Kehadiran dan penyebaran Islam di
pesisir utara pulau Jawa dapat dibuktikan berdasarkan data arkeologis dan
sumber-sumber babad, hikayat, legenda, serta berita-berita asing. Kehadiran
Islam baik para pedagang maupun mubaligh muslim melalui kota-kota yang sejak
semula sudah berfungsi sebagai pelabuhan di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan
Hindu-Buddha. Di Leran (Gresik) terdapat nisan kubur yang memuat nama Fatimah
binti Maimun bin hibatullah (wafat 475H/1082M). kemudian di Gresik terdapat
makam Maulana Malik Ibrahim (wafat 822H/1419M) sedangkan di Troloyo dan di
Trowulan, yang diperkirakan bekas pusat kerajaan Majapahit, terdapat sejumlah
nisan kubur muslim yang berangka tahun Saka dari abad ke 13-15M.
Berita asing dari Cina yang ditulis
Ma-Huan dari sekitar tahun 1433 M dan berita Portugis terutama dari Tome Pires
(1512-1515) memberikan gambaran tentang kehadiran para pedagang dan ulama di
kota-kota pelabuhan pesisir uatara Jawa Timur, jawa Tengah, dan Jawa Barat. Babad-babad
seperti Babad tanah Jawi, Babad sengkala,
Babad Tjerbon, Hikayat hasanudin, purwaka Cruban Nagari, dan lainnya seperti halnya H.J. de Graaf dan
Th. G. Th Pigeaud, digunakan untuk
historiografi kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, sangat membantu baik untuk masa
islamisasi maupun untuk masa perkembangannya. Islamisasi yang terjadi di
beberapa kota pesisir utara Jawa dari bagian timur sampai ke barat lambat laun
menyebabkan munculnya kerajaan-kerajaan Islam, berturut-turut dari Demakke arah
barat muncul Cirebon dan Banten, dan dari Demak kea rah pedalaman muncul
kerajaan Pajang dan terutama kerajaan Mataram.
- Kerajaan
Demak
Demak mempunyai letak geografis di pesisir utara dengan lingkungan alamnya
yang subur, dan semula adalah sebuah kampong yang dalam babad local disebut Gelagahwangi. Tempat inilah konon
dijadikan pemukiman muslim di bawah pimpinan Raden Patah yang kehadirannya di
tempat tersebut atas petunjuk seorang wali bernama Sunan Rahmat atau Ampel.
Raden Patah ialah seorang putra Brawijaya dari ibunya putri Cina (Cempa).
Ketika raden Patah masih dalam kandungan ibunya oleh Brawijaya dititipkan
kepada gubernur di Palembang, di tempat itulah Raden Patah Lahir. Tempat itu
kemudian tumbuh dan berkembang sebagai pusat kerajaan Islam pertama-tama di Pulau
Jawa sejak akhir abad ke-15 M, mungkin sejak lenyapnya ibukota kerajaan
Majapahit di daerah Trowulan oleh Wangsa Girindrawardhana dari kerajaan Kadiri
1474. Babad local menempatkan keruntuhan Majapahit tahun 1478 M, dengan
candrasengkalanya, Sirna Hilang kertaning
Bhumi (1400 Saka). Mungkin angka kenaikan tahun ini dapat dikaitkan pula
dengan candrasengkala memet yang
digambarkan sebagai bulus pada dinding mihrab Mesjid Agung Demak yang dapat
diartikan tahun 1401 Saka atau 1479 M. berdasarkan berita Tome Pires
(1512-1515) Demak diberitakan merupakan kota besar dengan jumlah rumah kurang
lebih 8.000 atau 14.000. penguasa Demak dikatakan Pate Rodim dan kakeknya
berasal dari Gresik. Yang menarik perhatian kita Tome Pires juga memberitakan
bahwa di daerah pedalaman masih ada kerajaan yang bercorak Hindu dengan rajanya
Batara Vigiaya dan patihnya yang lebih berkuasa ialah Gusti Pate. Yang dimaksud
Tome Pires dengan Batara Vigiaya jelas Brawijaya seperti terdapat pada
babad-babad. Brawijaya lebih kurang setengah abad sudah meninggalkan pusat
kerajaan Majapahit dan pindah ke Daha atau Kadiri yang akhirnya jatuh pada
tahun 1526 kepada kerajaan Islam Demak.
Raja Demak yang kedua dalam babad
dikenal dengan nama Pangeran Sabrang Lor meskipun pemerintahannya sebentar.
Dalam berita Tomi Pires dikenal seorang yang bernama Pate Unus yang mengadakan
serangan ke Malaka tahun 1513, keberangkatan dengan armadanya dari Japara yang
berfungsi sebagai pelabuhan Kerajaan Demak H.J. de Graaf berpendapat bahwa raja
kedua kerajaan Demak seperti disebut Tome Pires ialah Pate Rodim Sr, seorang
yang tegas dalam mengambil keputusan dan seorang ksatria, bangsawan dan teman
seperjuangan Pate Zaenal dari Gresik. Raja ketiga kerajaan Demak ialah Pangeran
atau Sultan Trenggana yang pada waktu Tome Pires ke Demak yang disebut Pate
Rodim Jr. (Muda). Ia meluaskan kekuasaannya ke Jawa bagian Barat terutama
mengirimkan pasukannya singgah di Cirebon dan juga dorongan Sunana Gunung Jati
sebagai mertuanya berangkat ke Kalapa dibarengi pasukan gabungan dari Cirebon.
Dari arah barat pelabuhan Kalapa diserang sehingga armada Portugis dibawah
Fransisco de Sa dipukul mundur dan Kalapa akhirnya dapat direbut dan kemudian
Fadhillah Khan mengganti nama kota pelabuhan itu menjadi Jayakarta. Ke Jawa
bagian Timur Trenggana juga meluaskan politiknya terutama menundukkan
daerah-daerah yang masih beragama Hindu yaitu kecuali Kadiri tahun 1527, juga
Tuban, Wirasari tahun 1528,Gagelang (Madiun) tahun 1529, Lendangkungan tahun
1930, Surabaya tahun 1531, Pasuruan tahun 1535, Panukaran, Lamongan, Blitar,
dan Wirasaba antara tahun 1541 dan 1542, Gunung penanggungan tahun 1543,
Mamenang Thanu tahun 1544, Sengguruh tahun 1545, Balambangan menurut Babad Sangkala diserang tahun 1546,
tetapi Sultan Trenggana gugur sehingga kerajaan Balambangan belum Islam.
2.
Kerajaan Pajang
Sejak wafatnya Pangeran trenggana
timbul perebutan kekuasaan dikalangan keluarga. Pengeran Trenggana mempunyai 6
putra dan putri, yaitu Pangeran Mukmin yang diangkat menjadi wali oleh Sunan
Giri dengan Sunan Prawata; putri yang menikah dengan Pangeran Langgar, putri
Kyai Gede Sampang di Madura; putri yang menikah dengan Pangeran Hadiri, Bupati
kalinyamat; putri yang menikah dengan Bupati Pajang Hadiwijaya (Jakatingkir);
putri yang menikah dengan Panembahan Pasarean putra Sunan Gunungjati; Pangeran
Timur yang kemudian menjadi Bupati Madiun.
Jaka
Tingkir adalah murid Ki Ageng Pengging yang semula menjadi seorang Tamtama
dikerajaan Demak di bawah Pemerintahan Pangeran trenggana, karena keahliannya
ia dijadikan menanatu oleh Sultan Demak. Setelah berhasil membunuh Aria
Penangsang, ia menobatkan dirinya sebagai Sultan Pajang dengan gelar Sultan
Hadiwijaya. Sultan Pajang mulai melakukan perluasan kekuasaan sehingga beberapa
daerah sekitarnya antara lain Jipang dan Demak sendiri mengakui kekuasaan
kerajaan Pajang. Demikian pula ia meluaskan pengaruhnya ke daerah pesisir
utara, seperti Japara, Pati, bahkan kea rah barat sampai Banyumas. Setelah
wafat tahun 1587 ia digantikan oleh putranya, yaitu Pangeran Benawa. Pada masa
pemerintahannya kerajaan Pajang kehilangan daerah Mataram yang masa pemerintahan
Sultan hadiwijaya telah diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan, anak Ki Ageng
Ngenis atas jasanya dalam pembunuhan terhadap Sunan Prawata. Peralihan
kekuasaan dari Demak kemudian ke Pajang sampai ke Mataram merupakan pergeseran
pusat pemerintahan dari daerah pesisir ke daerah pedalaman sehingga terjadi
perubahan sifat kerajaan maritime ke kerajaan agraris.
3.
Kerajaan Mataram
Mataram merupakan daerah yang subur,
terletak antara kali opak dan kali Praga yang mengalir ke Samudera hindia dan
memberikan kemungkinan pertumbuhan dan perkembangan pusat kerajaan Mataram. Di
tempat inilah Ki Ageng Pemanahan mendirikan keratin tahun 1578, tetapi setelah
beberapa tahun mendiami keratin, Ki Ageng pemanahan atau Ki Ageng Mataram itu
wafat pada tahun 1584. Penggantinya adalah putranya, Senapati ing Alaga yang
pada masa mudanya bergelar Ngabehi Loring Pasar dan ia adalah menantu Sultan
pajang atau Sultan Hadiwijaya yang wafat tahun 1587. Pada masa pemerintahannya
Mataram memperluas daerah kekuasaannya ke daerah sekitarnya termasuk daerah
pesisir utara, kemudian ke daerah-daerah di Jawa bagian Timur maupun ke daerah
Jawa bagian barat. Madiun tahun 1590 mengakui kekuasaan Mataram, demikian pula
Surabaya, selanjutnya Mataram
Menaklukkan
Kadiri.
Wafatnya Panembahan Senapati ing
Alaga menurut Babad Sangkala yang menceritakan tentang peristiwa
gerhana matahari dan wafatnya Panembahan Senapati ing Alaga pada tahun 1523 H
atau 1601 M, dan juga diceritakan bahwa pada waktu itu terjadi perpindahan
Adipati Puger ke Demak. Pemerintahan Panembahan Senapati ing Alaga dapat
dikatakan sebagai masa awal kebangkitan, sedang masa puncaknya pemerintahan
Sultan Agung Hanyakrakusuma, cucu Panembahan Senapati ing Alaga. Setelah
Senapati ing Alaga wafat diganti Raden Jolang, putra dari selir asal putri dari
pati. Pemerintahan masa Pangeran jolang dari tahun 1601 sampai tahun 1613,
menyempurnakan pembangunan kota yang dikenal sebagai kota Gede termasuk
pembuatan Taman Danalaya, kolam (segaran) dan kompleks pemakaman Kota Gede.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung
Senapati ing Alaga beberapa daerah yang semula sudah berada di bawah Mataram
mulai melepaskan dirinya. Akibatnya Sultan agung melakukan penyerangan-penyerangan
terhadap Surabaya pada tahun 1625, Pati, Giri, dan Balambangan. Sementara itu
Mataram mengadakan hubungan dengan VOC di Batavia yang sudah dirintis
Panembahan Seda ing Krapyak tahun 1613. VOC mengirimkan utusannya ke Mataram,
antara lain Hendrik De Haan, Yan Vos, dan Pieter Franssen. Akan tetapi hungan it
mulai memburuk sejak tahun 1624.sultan agung menganggap VOC berusaha melakukan
kolonialismenya yang mengancam kekuasaan politik kerajaan Mataram. Permusuhan
itu memuncak dan Mataram mengirimkan pasukan-pasukan dibawah pimpinan
panglima-panglimanya. Pertama kali pengepungan Batavia untuk mengusir VOC
terjadi pada tahun 1628, tetapi mengalami kegagalan lalu diulangi lagi
penyerangan pada tahun 1629, tetapi juga gagal.
Sutan
agung melakukan pembangunan sebagai contoh ia mempersiapkan untuk pendirian
kota yang akan dipusatkan di Plered, pembangunan makam di kompleks pemakaman di
Girilaya, kemudian mengadakan pembangunan makam di Bukit Merak yang di mulai
tahun 1632 setelah selesai diberi nama Imogiri. Dalam
segi keagamaan masanya cenderung mengadakan perimbangan antara Islam dan Hindu.
Ia membuat kalender tahun Jawa ddengan perhitungan antara tahun Hijriah dengan
tahun Saka yang waktu tahun 1555 Saka dapat diterima oleh masyarakat Jawa dan
sampai sekarang disebut penanggalan Jawi.
Sultan Agung Mataram yang terkenal itu sakit dan wafat di keratin Kota Gede
pada tahun 1645 dan kemudian dimakamkan di Imogiri, kompleks makam yang telah
dirintis pembangunannya.
Pengganti
Sultan Agung Mataram adalah putranya yang bernama Amangkurat dengan gelar
Sultan Amangkurat Senapati ing Alaga Ngabdur Rahman Syidin Pinatagama yang
untuk mudahnya disebut Amangkurat I. ia memindahkan Keraton dari Kota Gede ke
Plered yang menurut Baba ding Sengkala terjadi
pada tahun 1569 Jawa atau 1647 M, tentang keratin dan komponen-komponen kota
Plered telah dibicarakan Dr. Inajati Adrisijanti Romli dalam disertasinya Arkeologi Perkotaan Mataram Islam. Masa
pemerintahan Amangkurat I dalam babad antara babad tanah jawi, kecuali emberikan gambaran pemberontakan
sampai pemberontakan Trunojoyo juga tindakan-tindakan tercelanya karena
melakukan perintah pembunuhan terhadap siapa saja yang dianggap merongrong
kekuasannya, bukan hanya para pejabat antara lain Tumenggung Wiraguna, tetapi
adiknya sendiri dan para ulama. Sunan Amangkurat itu lebih dekat kepada VOC
untuk mencari dukungannya daripada ke masyarakat kerajaannya sendiri. Sebagai
bukti melakukan perjanjian dengan VOC yang hakikatnya Mataram harus mengakui
kekuasaan politik VOC di Batavia dan disusul dengan pengiriman utusan-utusan
tiap tahun dari VOC ke Mataram. Kedekatan Mataram dengan VOC menyebabkan makin
banyaknya tindakan mencampuri politik kerajaan Mataram. Permusuhan Sunan
Amangkurat I dengan Pangeran Adipati Anom juga menambah ketidaksenangan para
pejabat dan masyarakat Mataram yang sudah sangat tertekan. Dengan masuknya
pasukan pemberontak Pangeran Trunajaya Sunan Amangkurat I terpaksa menyingkir
ke luar kota dan menuju ke daerah Banyumas, dengan tujuan ke Cirebon untuk
minta bantuan juga kepada VOC. Akan tetapi, sesampainya di Wanayasa ia jatuh
sakit dan akhirnya meninggal pada tanggal 10 juli 1677 yang kemudian jenazahnya
di bawa ke Tegalwangi di daerah Tegal untuk dimakamkan. Ia masih sempat
mengangkat Pangeran Adipati anom sebagai penggantinya dengan gelar Sunan
Amangkurat II. Sejak pemerintahan baik Sunan Amangkurat I maupun Sunan
Amangkurat II dan seterusnya, kerajaan Islam sampai perang Giyanti pada tahun
1755 terus-menerus mengalami pengaruh politik VOC. Bahkan melalui perjanjian
Giyanti itulah kerajaan Mataram islam dipecah menjadi Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta (Solo).
4.
Kerajaan Cirebon
Cirebon yang semula termasuk daerah
kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran bahkan menjadi salah satu pelabuhan kerajaan
tersebut. Ketika kehadiran Tome Pires (1512-1515) sekitar tahun 1513,
diberitakan Cirebon sudah termasuk daerah Jawa di bawah kekuasaan kerajaan
Demak. Penguasa di Cirebon adalah Lebe Usa sebagai bawahan Pate Rodim. Cirebon
terutama pengekspor beras dan banyak bahan makanan lainnya. Kota ini
penduduknya sudah ada 1.000 orang Pate Quitir yang dahulu memberontak di
kampong Upeh (Malaita), berdiam di Cirebon sebagai pedagang besar yang juga
dihormati oleh pedagang-pedagang lainnya bahkan oleh Raja Cirebon. Yang menarik
perhatian Tome Pires mengatakan bahwa Islam sudah hadir di kota Cirebon ini 40
tahun sebelum kehadiran Tome Pires sendiri. Perhitungan tahun kehadiran Islam
di Cirebon berdasarkan berita itu dapat diperkirakan antara tahun 1470-1475 M.
perkiraan kehadiran Islam di kota Cirebon itu dapat dibandingkan dengan sumber
local tjarita Purwaka Tjaruban Nagari karya
Pangeran Arya Cerbon tahun 1720 M. Dalam naskah ini dikatakan bahwa
kehadirannya Syarif Hidayatullah di Cirebon tahun 1470 M adalah mengajarkan
agama Islam di Gunung Sembung, bersama-sama uaknya Haji Abdullah Iman atau
Pangeran Cakrabumi atau Cakrabuana yang sudah lebih dahulu berada di Cirebon. Syarif
Hidayatullah menikah dengan Pakungwati putri uaknya dan pada tahun1479
menggantikan mertuanya sebagai penguasa Cirebon, lalu mendirikan keratin yang
diberi nama Pakungwati di sebelah Timur keratin Sultan Kasepuhan kini. Syarif
Hidayatullah terkenal juga dengan gelar Gusuhunan Jati atau Sunan Gunungjati,
salah seorang Wali Sanga dan juga mendapat julukan Pandita Ratu sejak ia berfungsi sebagai wali penyebar Islam di
Tatar Sunda dan sebagai kepala pemerintahan. Sejak itu Cirebon menghentikan
upeti ke pusat kerajaan Sunda Pajajaran di Pakuan.
Pada masa pemerintahan Sunan
Gunungjati islam makin diintensifkan dengan pendirian Masjid Agung Cipta Rasa
di sisi barat alun-alun keratin pakungwati dan Islam diluaskan ke berbagai
daerah antara lain ke daerah Kuningan, Talaga, dan Galuh sekitar tahun
1528-1530 dan ke daerah Banten sekitar tahun 1525-1526 bersama putranya Maulana
Hasanuddin. Pada sekitar tahun 1527 ia mendorong Fadillah baik sebagai
menantunya maupun sebagai panglima yang dikirimkan Pangeran Trenggana dari
Demak untuk menyerang Kalapa yang masih dikuasai kerajaan Sunda dan sejak tahun
1522 mengadakan hubungan dengan Portugis dari Malaka.
Sunan Gunungjati wafat tahun 1568
dan dimakamkan di Bukit Sembung yang juga terkenal dengan Makam Gunungjati.
Penggantinya di Cirebon adalah bunyutnya yang terkenal sebagai Panembahan Ratu
putra Pangeran Suwarga yang telah meninggal tahun 1565. Pada masa pemerintahannya
hubungan dengan Mataram masih diteruskan melalui kekluargaan antara lain
perkawinan. Sebagai contoh, pernikahan kakak perempuan Panembahan Ratu, yaitu
Ratu Ayu Sakluh, dengan Sultan Agung Mataram (1613-1645/6), yang melahirkan
Amangkurat I (1614-1677). Panembahan Ratu II atau Panembahan Girilaya dipanggil
ke Mataram dan selama 12 tahun tidak kembali ke Cirebon sampai wafatnya tahun
1662 dan dimakamkan di Bukit Girilaya sebelah timur Imogiri. Kedua orang
putranya yang bernama Martawijaya dan Kartawijaya yang turut ke Mataram pada
masa pemberontakan Pangeran Trunajaya oleh Sunan Amangkurat I dibolehkan
kembali ke Cirebon, dengan pertolongan Banten kedua putra itu diambil dari
Surabaya kemudian dibawa ke Bnaten, diberi gelar Suktan Pangeran Martawijaya sebagai
Sultan Sepuh Iatau Sultan Syamsuddin dan Pangeran Kartawijaya sebagai Sultan
Kanoman atau Sultan Badruddin. Pangeran Wangsakerta yang selama ayahnya di
Mataram memegang Cirebon tidak diberi gelar Sultan. Keberadaan kesultanan
Cirebon menjelang akhir abad ke-17 melalui perjanjian-perjanjian dengan VOC
antara lain perjanjian 7 Januari 1681 Kesultanan Cirebon mulai dicampuri
politik Kolinial VOC, dan selanjutnya dibidang ekonomi-perdagangan merupakan
monopoli VOC, seperti pakain dan opium. Demikian pula ekspor komoditas lada,
beras, kayu, gula, dsb. berada ditangan VOC. Perjanjian 8 September 1688 yang
ditandatangani Sultan Sepuh I, Sultan Anom, dan Pangeran Tohpati antara lain
mengenai pengakuan dan juga pembagian cacah, dipihak kesultanan Cirebon lebih
menimbulkan persengketaan. Sejak tahun 1697 kekuasaan keratin Kasepuhan dan
Kanoman terbagi lagi atas Kacirebonan dan Kaprabonan.
5.
Kerajaan Banten
Daerah Bnten pada waktu sebelum
tahun 1525/1526 merupakan Kadipaten kerajaan Sunda Pajajaran yang berpusat di
Bogor antara sungai Cisadane-Ciliwung dan Cipakancilan. Pakuan sebagai pusat
pemerintahan Kerajaan Sunda Pajajaran mempunyai karakter sebagai Negara-Kota (City-State) yang salah satu kegiatan
utamanya adalah perdagangan regional dan internasional Pusat Kadipaten Banten
di Wahanten Girang (Banten Girang), sebelah barat kota Serang, yang konon
diperintah oleh Pucuk Umum.
Sampai kehadiran Tome Pires
(1512-1515) Banten masih merupakan bagian dari kerajaan Sunda Pajajaran dan
merupakan salah satu diantara pelabuhan lainnya, seperti Pontang, Ciguide,
Tanggerang, Kalapa, Cimanuk, dan Cirebon. Dari pelabuhan Banten diekspor
terutama lada dan beras, sebaliknya pelabuhan Banten didatangi para pedagang
dari Kepulauan Maladiva, Sumatra, dan lainnya. Sumber Cina, Shun Peng Shsiang Sung (lk.1430 M),
berita Ma Huan dalam Ying yai-Sheng-Lan (1433),
dalam rute-rute pelayaran dan perdagangan Banten telah disebut-sebut. Hal itu
berarti sejak abad ke-15 M pelabuhan Banten sudah merupakan pelabuhan penting
yang masuk jaringan pelayaran dan perdagangan “Jalur/Jalan Sutra” (Silk-Road). Berita itu semua dapat dibuktikan
oleh temuan sejumlah pecahan keramik dari maa Dinasti Sung sampai Ming dari ±
abad ke 10-15 M berasal dari situs Banten Girang. Kota Banten Girang ini
menurut Babad/Sajarah Banten direbut
oleh muslim di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin, putra Syarif Hidayatullah
yang diberi Sengkala, brasta gempung
warna tunggal (0041 atau 1400 Saka) (1478 M).
Atas petunjuk Syarif Hidayatullah
atau Sunan Gunungjati kepada putranya, Maulana Hasanuddin di tempat yang baru
dibuat keratin, masjid, alun-alun, pasar, dan kelengkapan lainnya bagi suatu
kota. Letak ibukota Surasowan di teluk Banten sangat strategis untuk
pertumbuhan dan perkembangan bahkan memuncaknya Kesultanan. Dengan penguasaan
Malaka oleh portugis, Banten makin berarti bagi pelayaran dan perdagangan
internasional melalui Selat Sunda. Banten bukan hanya berfungsi sebagai pusat
politik, perekonomian, dan perdagangan, melainkan juga keagamaan dan
kebudayaan. Sejak pemerintahan Maulana Hasanuddin daerah Lampung sudah masuk ke
dalam kekuasaan Kesultanan Banten, demikian pula Jayakarta semula bernama
Kalapa dan sejak tahun 1527 berada ditangan Fadhillah masuk bagian Kesultanan
Banten. Lebih-lebih setelah Jayakarta dibawah pemerintahan Maulana Yusuf,
Kesultanan Banten mengalami kemajuan dalam bidang pembangunan kota, desa-desa,
dan pembuatan persawahan dan perladangan sebagaimana diceritakan Babad/Sejarah Banten. Selain itu
pemerintahan Maulana Yusuf ± tahun 1579 juga dapat mengalahkan pusat kerajaan
Pajajaran di Pakuan. Setelah ia wafat, penggantinya adalah Maulana Muhammad
(1580-1596) yang melakukan serangan terhadap Palembang yang mungkin bermotif
ekonomi, tetapi ia gugur dalam peperangan di Palembang sehingga mendapat julukan
Panembahan Seda ing Rana. Pada waktu itu kebetulan Banten mulai didatangi
bangsa Barat, yaitu Belanda di bawah pimpinan Cornelis deHoutman.
Pengganti Maulana Muhammad adalah
putranya yang masih kecil bernama Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir tahun 1596-1651
yang selama pemerintahannya Kesultanan Banten mulai dirongrong oleh politik
kolonialisme Belanda (VOC), tetapi juga selalu dihadapi dengan peperangan.
Kesultanan Banten pada masa pemerintahan Sultan Abdulfatah atau Sultan Ageng
Tirtayasa mencapai puncaknya dalam bidang politik, perekonomian, perdagangan,
keagamaan dan kebudayaan. Dalam bidang politik Kesultanan Bantenterus menerus
melawan kolonialisme VOC baik di laut maupun di daratan antara lain terkenal
dengan peperangan tahun 1658-1659 di daerah Angke-Tanggerang yang diakhiri
dengan perjanjian tanggal 10 Juli 1659 yang terdiri dari 12 pasal. Setelah
perjanjian tahun 1659 itu, Sultan Agung Tirtayasa memperkuat pertahanannya
dengan cara membuat keratin di Tirtayasa, membuat jalan dari Pontang ke Tirtayasa
bahkan juga membuka persawahan di sebelah barat ujung Jawa (Tangerang).
Dalam perdagangan internasional
Kesultanan Banten makin dekembangkan dengan negri-negri Iran, Hindustan, Arab,
inggris, prancis, Denmark, Jepang, Pegu, Filiphina, Cina, dan sebagainya.
Kemajuan kesultanan Banten dalam bidang perdagangan tersebut bukan hanya
tercatat dalam harian Belanda (Daghregisters), tetapi juga dari data temuan
banyaknya pecahan keramik dan benda-benda lainnya baik dari Cina, Jepang,
bahkan dari Eropa. Kesultanan Banten mulai mengalami kemunduran sejak perang
kelompok yang dipimpin putranya, yaitu Sultan Abu Nasr Abdul kahar atau Sultan
Haji yang dibantu VOC melawan kekuasaan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa. Akan
tetapi dengan jatuhnya Surasowan, serta tertangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa
dan terjadinya perjanjian antara Sultan VOC dengan Sultan Abu Nasr Abdul Kahar
tanggal 17 April 1684, berakibat Sultan Haji harus mengganti kerugian 12.000
ringgit dan pendirian Benteng Speelwijk. Akibat lebih jauh adalah baik dibidang
politik maupun dibidang ekonomi-perdagangan, masuknya monopoli VOC, Kesultanan
Banten praktis tidak berdaya lagi, meskipun gerilya dibawah pimpinan Syekh
Yusuf masih terus dilakukan.pergantian Sultan yang dicampuri politik VOC dan
masa pendudukan Hindia Belanda selalu menimbulkan pemberontakan-pemberontakan,
seperti Kiai Tapa dan Tubagus Buang pada sekitar abad ke-18 dan akhirnya dengan
pembuatan jalan Dendels dan tindakan menghancurkan keratin Surasowan dan
kemudian mengasingkan Sultan-sultan banten serta dengan tindakan akhir colonial
Belanda tahun 1808 menghapuskan pemerintahan Kesultanan menjadi
kabupaten-kabupaten Serang, Caringin dan Lebak berada di bawah pimpinan
pemerintahan Hindia Belanda. Meski demikian, rakyat Banten di bawah pimpinan
Kiai dan Haji senantiasa melakukan pemberontakan, di antaranya pemberontakan
petani tahun 1888 di Cilegon di bawah pimpinan Kiai Haji Wasid.
Makam Malik Maulana |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar