Sabtu, 02 November 2013

Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa

            Kehadiran dan penyebaran Islam di pesisir utara pulau Jawa dapat dibuktikan berdasarkan data arkeologis dan sumber-sumber babad, hikayat, legenda, serta berita-berita asing. Kehadiran Islam baik para pedagang maupun mubaligh muslim melalui kota-kota yang sejak semula sudah berfungsi sebagai pelabuhan di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Di Leran (Gresik) terdapat nisan kubur yang memuat nama Fatimah binti Maimun bin hibatullah (wafat 475H/1082M). kemudian di Gresik terdapat makam Maulana Malik Ibrahim (wafat 822H/1419M) sedangkan di Troloyo dan di Trowulan, yang diperkirakan bekas pusat kerajaan Majapahit, terdapat sejumlah nisan kubur muslim yang berangka tahun Saka dari abad ke 13-15M.
            Berita asing dari Cina yang ditulis Ma-Huan dari sekitar tahun 1433 M dan berita Portugis terutama dari Tome Pires (1512-1515) memberikan gambaran tentang kehadiran para pedagang dan ulama di kota-kota pelabuhan pesisir uatara Jawa Timur, jawa Tengah, dan Jawa Barat. Babad-babad seperti Babad tanah Jawi, Babad sengkala, Babad Tjerbon, Hikayat hasanudin, purwaka Cruban Nagari,  dan lainnya seperti halnya H.J. de Graaf dan Th. G.  Th Pigeaud, digunakan untuk historiografi kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, sangat membantu baik untuk masa islamisasi maupun untuk masa perkembangannya. Islamisasi yang terjadi di beberapa kota pesisir utara Jawa dari bagian timur sampai ke barat lambat laun menyebabkan munculnya kerajaan-kerajaan Islam, berturut-turut dari Demakke arah barat muncul Cirebon dan Banten, dan dari Demak kea rah pedalaman muncul kerajaan Pajang dan terutama kerajaan Mataram.
  1. Kerajaan Demak
            Demak mempunyai letak geografis  di pesisir utara dengan lingkungan alamnya yang subur, dan semula adalah sebuah kampong yang dalam babad local disebut Gelagahwangi. Tempat inilah konon dijadikan pemukiman muslim di bawah pimpinan Raden Patah yang kehadirannya di tempat tersebut atas petunjuk seorang wali bernama Sunan Rahmat atau Ampel. Raden Patah ialah seorang putra Brawijaya dari ibunya putri Cina (Cempa). Ketika raden Patah masih dalam kandungan ibunya oleh Brawijaya dititipkan kepada gubernur di Palembang, di tempat itulah Raden Patah Lahir. Tempat itu kemudian tumbuh dan berkembang sebagai pusat kerajaan Islam pertama-tama di Pulau Jawa sejak akhir abad ke-15 M, mungkin sejak lenyapnya ibukota kerajaan Majapahit di daerah Trowulan oleh Wangsa Girindrawardhana dari kerajaan Kadiri 1474. Babad local menempatkan keruntuhan Majapahit tahun 1478 M, dengan candrasengkalanya, Sirna Hilang kertaning Bhumi (1400 Saka). Mungkin angka kenaikan tahun ini dapat dikaitkan pula dengan candrasengkala memet yang digambarkan sebagai bulus pada dinding mihrab Mesjid Agung Demak yang dapat diartikan tahun 1401 Saka atau 1479 M. berdasarkan berita Tome Pires (1512-1515) Demak diberitakan merupakan kota besar dengan jumlah rumah kurang lebih 8.000 atau 14.000. penguasa Demak dikatakan Pate Rodim dan kakeknya berasal dari Gresik. Yang menarik perhatian kita Tome Pires juga memberitakan bahwa di daerah pedalaman masih ada kerajaan yang bercorak Hindu dengan rajanya Batara Vigiaya dan patihnya yang lebih berkuasa ialah Gusti Pate. Yang dimaksud Tome Pires dengan Batara Vigiaya jelas Brawijaya seperti terdapat pada babad-babad. Brawijaya lebih kurang setengah abad sudah meninggalkan pusat kerajaan Majapahit dan pindah ke Daha atau Kadiri yang akhirnya jatuh pada tahun 1526 kepada kerajaan Islam Demak.
            Raja Demak yang kedua dalam babad dikenal dengan nama Pangeran Sabrang Lor meskipun pemerintahannya sebentar. Dalam berita Tomi Pires dikenal seorang yang bernama Pate Unus yang mengadakan serangan ke Malaka tahun 1513, keberangkatan dengan armadanya dari Japara yang berfungsi sebagai pelabuhan Kerajaan Demak H.J. de Graaf berpendapat bahwa raja kedua kerajaan Demak seperti disebut Tome Pires ialah Pate Rodim Sr, seorang yang tegas dalam mengambil keputusan dan seorang ksatria, bangsawan dan teman seperjuangan Pate Zaenal dari Gresik. Raja ketiga kerajaan Demak ialah Pangeran atau Sultan Trenggana yang pada waktu Tome Pires ke Demak yang disebut Pate Rodim Jr. (Muda). Ia meluaskan kekuasaannya ke Jawa bagian Barat terutama mengirimkan pasukannya singgah di Cirebon dan juga dorongan Sunana Gunung Jati sebagai mertuanya berangkat ke Kalapa dibarengi pasukan gabungan dari Cirebon. Dari arah barat pelabuhan Kalapa diserang sehingga armada Portugis dibawah Fransisco de Sa dipukul mundur dan Kalapa akhirnya dapat direbut dan kemudian Fadhillah Khan mengganti nama kota pelabuhan itu menjadi Jayakarta. Ke Jawa bagian Timur Trenggana juga meluaskan politiknya terutama menundukkan daerah-daerah yang masih beragama Hindu yaitu kecuali Kadiri tahun 1527, juga Tuban, Wirasari tahun 1528,Gagelang (Madiun) tahun 1529, Lendangkungan tahun 1930, Surabaya tahun 1531, Pasuruan tahun 1535, Panukaran, Lamongan, Blitar, dan Wirasaba antara tahun 1541 dan 1542, Gunung penanggungan tahun 1543, Mamenang Thanu tahun 1544, Sengguruh tahun 1545, Balambangan menurut Babad Sangkala diserang tahun 1546, tetapi Sultan Trenggana gugur sehingga kerajaan Balambangan belum Islam.
2.      Kerajaan Pajang
            Sejak wafatnya Pangeran trenggana timbul perebutan kekuasaan dikalangan keluarga. Pengeran Trenggana mempunyai 6 putra dan putri, yaitu Pangeran Mukmin yang diangkat menjadi wali oleh Sunan Giri dengan Sunan Prawata; putri yang menikah dengan Pangeran Langgar, putri Kyai Gede Sampang di Madura; putri yang menikah dengan Pangeran Hadiri, Bupati kalinyamat; putri yang menikah dengan Bupati Pajang Hadiwijaya (Jakatingkir); putri yang menikah dengan Panembahan Pasarean putra Sunan Gunungjati; Pangeran Timur yang kemudian menjadi Bupati Madiun.
Jaka Tingkir adalah murid Ki Ageng Pengging yang semula menjadi seorang Tamtama dikerajaan Demak di bawah Pemerintahan Pangeran trenggana, karena keahliannya ia dijadikan menanatu oleh Sultan Demak. Setelah berhasil membunuh Aria Penangsang, ia menobatkan dirinya sebagai Sultan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Sultan Pajang mulai melakukan perluasan kekuasaan sehingga beberapa daerah sekitarnya antara lain Jipang dan Demak sendiri mengakui kekuasaan kerajaan Pajang. Demikian pula ia meluaskan pengaruhnya ke daerah pesisir utara, seperti Japara, Pati, bahkan kea rah barat sampai Banyumas. Setelah wafat tahun 1587 ia digantikan oleh putranya, yaitu Pangeran Benawa. Pada masa pemerintahannya kerajaan Pajang kehilangan daerah Mataram yang masa pemerintahan Sultan hadiwijaya telah diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan, anak Ki Ageng Ngenis atas jasanya dalam pembunuhan terhadap Sunan Prawata. Peralihan kekuasaan dari Demak kemudian ke Pajang sampai ke Mataram merupakan pergeseran pusat pemerintahan dari daerah pesisir ke daerah pedalaman sehingga terjadi perubahan sifat kerajaan maritime ke kerajaan agraris.
3.      Kerajaan Mataram
            Mataram merupakan daerah yang subur, terletak antara kali opak dan kali Praga yang mengalir ke Samudera hindia dan memberikan kemungkinan pertumbuhan dan perkembangan pusat kerajaan Mataram. Di tempat inilah Ki Ageng Pemanahan mendirikan keratin tahun 1578, tetapi setelah beberapa tahun mendiami keratin, Ki Ageng pemanahan atau Ki Ageng Mataram itu wafat pada tahun 1584. Penggantinya adalah putranya, Senapati ing Alaga yang pada masa mudanya bergelar Ngabehi Loring Pasar dan ia adalah menantu Sultan pajang atau Sultan Hadiwijaya yang wafat tahun 1587. Pada masa pemerintahannya Mataram memperluas daerah kekuasaannya ke daerah sekitarnya termasuk daerah pesisir utara, kemudian ke daerah-daerah di Jawa bagian Timur maupun ke daerah Jawa bagian barat. Madiun tahun 1590 mengakui kekuasaan Mataram, demikian pula Surabaya, selanjutnya Mataram
Menaklukkan Kadiri.
            Wafatnya Panembahan Senapati ing Alaga menurut Babad Sangkala yang menceritakan tentang peristiwa gerhana matahari dan wafatnya Panembahan Senapati ing Alaga pada tahun 1523 H atau 1601 M, dan juga diceritakan bahwa pada waktu itu terjadi perpindahan Adipati Puger ke Demak. Pemerintahan Panembahan Senapati ing Alaga dapat dikatakan sebagai masa awal kebangkitan, sedang masa puncaknya pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma, cucu Panembahan Senapati ing Alaga. Setelah Senapati ing Alaga wafat diganti Raden Jolang, putra dari selir asal putri dari pati. Pemerintahan masa Pangeran jolang dari tahun 1601 sampai tahun 1613, menyempurnakan pembangunan kota yang dikenal sebagai kota Gede termasuk pembuatan Taman Danalaya, kolam (segaran) dan kompleks pemakaman Kota Gede.
            Pada masa pemerintahan Sultan Agung Senapati ing Alaga beberapa daerah yang semula sudah berada di bawah Mataram mulai melepaskan dirinya. Akibatnya Sultan agung melakukan penyerangan-penyerangan terhadap Surabaya pada tahun 1625, Pati, Giri, dan Balambangan. Sementara itu Mataram mengadakan hubungan dengan VOC di Batavia yang sudah dirintis Panembahan Seda ing Krapyak tahun 1613. VOC mengirimkan utusannya ke Mataram, antara lain Hendrik De Haan, Yan Vos, dan Pieter Franssen. Akan tetapi hungan it mulai memburuk sejak tahun 1624.sultan agung menganggap VOC berusaha melakukan kolonialismenya yang mengancam kekuasaan politik kerajaan Mataram. Permusuhan itu memuncak dan Mataram mengirimkan pasukan-pasukan dibawah pimpinan panglima-panglimanya. Pertama kali pengepungan Batavia untuk mengusir VOC terjadi pada tahun 1628, tetapi mengalami kegagalan lalu diulangi lagi penyerangan pada tahun 1629, tetapi juga gagal.
Sutan agung melakukan pembangunan sebagai contoh ia mempersiapkan untuk pendirian kota yang akan dipusatkan di Plered, pembangunan makam di kompleks pemakaman di Girilaya, kemudian mengadakan pembangunan makam di Bukit Merak yang di mulai tahun 1632 setelah selesai diberi nama Imogiri.    Dalam segi keagamaan masanya cenderung mengadakan perimbangan antara Islam dan Hindu. Ia membuat kalender tahun Jawa ddengan perhitungan antara tahun Hijriah dengan tahun Saka yang waktu tahun 1555 Saka dapat diterima oleh masyarakat Jawa dan sampai sekarang disebut penanggalan Jawi. Sultan Agung Mataram yang terkenal itu sakit dan wafat di keratin Kota Gede pada tahun 1645 dan kemudian dimakamkan di Imogiri, kompleks makam yang telah dirintis pembangunannya.
Pengganti Sultan Agung Mataram adalah putranya yang bernama Amangkurat dengan gelar Sultan Amangkurat Senapati ing Alaga Ngabdur Rahman Syidin Pinatagama yang untuk mudahnya disebut Amangkurat I. ia memindahkan Keraton dari Kota Gede ke Plered yang menurut Baba ding Sengkala terjadi pada tahun 1569 Jawa atau 1647 M, tentang keratin dan komponen-komponen kota Plered telah dibicarakan Dr. Inajati Adrisijanti Romli dalam disertasinya Arkeologi Perkotaan Mataram Islam. Masa pemerintahan Amangkurat I dalam babad antara babad tanah  jawi,  kecuali emberikan gambaran pemberontakan sampai pemberontakan Trunojoyo juga tindakan-tindakan tercelanya karena melakukan perintah pembunuhan terhadap siapa saja yang dianggap merongrong kekuasannya, bukan hanya para pejabat antara lain Tumenggung Wiraguna, tetapi adiknya sendiri dan para ulama. Sunan Amangkurat itu lebih dekat kepada VOC untuk mencari dukungannya daripada ke masyarakat kerajaannya sendiri. Sebagai bukti melakukan perjanjian dengan VOC yang hakikatnya Mataram harus mengakui kekuasaan politik VOC di Batavia dan disusul dengan pengiriman utusan-utusan tiap tahun dari VOC ke Mataram. Kedekatan Mataram dengan VOC menyebabkan makin banyaknya tindakan mencampuri politik kerajaan Mataram. Permusuhan Sunan Amangkurat I dengan Pangeran Adipati Anom juga menambah ketidaksenangan para pejabat dan masyarakat Mataram yang sudah sangat tertekan. Dengan masuknya pasukan pemberontak Pangeran Trunajaya Sunan Amangkurat I terpaksa menyingkir ke luar kota dan menuju ke daerah Banyumas, dengan tujuan ke Cirebon untuk minta bantuan juga kepada VOC. Akan tetapi, sesampainya di Wanayasa ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal pada tanggal 10 juli 1677 yang kemudian jenazahnya di bawa ke Tegalwangi di daerah Tegal untuk dimakamkan. Ia masih sempat mengangkat Pangeran Adipati anom sebagai penggantinya dengan gelar Sunan Amangkurat II. Sejak pemerintahan baik Sunan Amangkurat I maupun Sunan Amangkurat II dan seterusnya, kerajaan Islam sampai perang Giyanti pada tahun 1755 terus-menerus mengalami pengaruh politik VOC. Bahkan melalui perjanjian Giyanti itulah kerajaan Mataram islam dipecah menjadi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta (Solo).
4.      Kerajaan Cirebon
            Cirebon yang semula termasuk daerah kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran bahkan menjadi salah satu pelabuhan kerajaan tersebut. Ketika kehadiran Tome Pires (1512-1515) sekitar tahun 1513, diberitakan Cirebon sudah termasuk daerah Jawa di bawah kekuasaan kerajaan Demak. Penguasa di Cirebon adalah Lebe Usa sebagai bawahan Pate Rodim. Cirebon terutama pengekspor beras dan banyak bahan makanan lainnya. Kota ini penduduknya sudah ada 1.000 orang Pate Quitir yang dahulu memberontak di kampong Upeh (Malaita), berdiam di Cirebon sebagai pedagang besar yang juga dihormati oleh pedagang-pedagang lainnya bahkan oleh Raja Cirebon. Yang menarik perhatian Tome Pires mengatakan bahwa Islam sudah hadir di kota Cirebon ini 40 tahun sebelum kehadiran Tome Pires sendiri. Perhitungan tahun kehadiran Islam di Cirebon berdasarkan berita itu dapat diperkirakan antara tahun 1470-1475 M. perkiraan kehadiran Islam di kota Cirebon itu dapat dibandingkan dengan sumber local tjarita Purwaka Tjaruban Nagari karya Pangeran Arya Cerbon tahun 1720 M. Dalam naskah ini dikatakan bahwa kehadirannya Syarif Hidayatullah di Cirebon tahun 1470 M adalah mengajarkan agama Islam di Gunung Sembung, bersama-sama uaknya Haji Abdullah Iman atau Pangeran Cakrabumi atau Cakrabuana yang sudah lebih dahulu berada di Cirebon. Syarif Hidayatullah menikah dengan Pakungwati putri uaknya dan pada tahun1479 menggantikan mertuanya sebagai penguasa Cirebon, lalu mendirikan keratin yang diberi nama Pakungwati di sebelah Timur keratin Sultan Kasepuhan kini. Syarif Hidayatullah terkenal juga dengan gelar Gusuhunan Jati atau Sunan Gunungjati, salah seorang Wali Sanga dan juga mendapat julukan Pandita Ratu sejak ia berfungsi sebagai wali penyebar Islam di Tatar Sunda dan sebagai kepala pemerintahan. Sejak itu Cirebon menghentikan upeti ke pusat kerajaan Sunda Pajajaran di Pakuan.
            Pada masa pemerintahan Sunan Gunungjati islam makin diintensifkan dengan pendirian Masjid Agung Cipta Rasa di sisi barat alun-alun keratin pakungwati dan Islam diluaskan ke berbagai daerah antara lain ke daerah Kuningan, Talaga, dan Galuh sekitar tahun 1528-1530 dan ke daerah Banten sekitar tahun 1525-1526 bersama putranya Maulana Hasanuddin. Pada sekitar tahun 1527 ia mendorong Fadillah baik sebagai menantunya maupun sebagai panglima yang dikirimkan Pangeran Trenggana dari Demak untuk menyerang Kalapa yang masih dikuasai kerajaan Sunda dan sejak tahun 1522 mengadakan hubungan dengan Portugis dari Malaka.
            Sunan Gunungjati wafat tahun 1568 dan dimakamkan di Bukit Sembung yang juga terkenal dengan Makam Gunungjati. Penggantinya di Cirebon adalah bunyutnya yang terkenal sebagai Panembahan Ratu putra Pangeran Suwarga yang telah meninggal tahun 1565. Pada masa pemerintahannya hubungan dengan Mataram masih diteruskan melalui kekluargaan antara lain perkawinan. Sebagai contoh, pernikahan kakak perempuan Panembahan Ratu, yaitu Ratu Ayu Sakluh, dengan Sultan Agung Mataram (1613-1645/6), yang melahirkan Amangkurat I (1614-1677). Panembahan Ratu II atau Panembahan Girilaya dipanggil ke Mataram dan selama 12 tahun tidak kembali ke Cirebon sampai wafatnya tahun 1662 dan dimakamkan di Bukit Girilaya sebelah timur Imogiri. Kedua orang putranya yang bernama Martawijaya dan Kartawijaya yang turut ke Mataram pada masa pemberontakan Pangeran Trunajaya oleh Sunan Amangkurat I dibolehkan kembali ke Cirebon, dengan pertolongan Banten kedua putra itu diambil dari Surabaya kemudian dibawa ke Bnaten, diberi gelar Suktan Pangeran Martawijaya sebagai Sultan Sepuh Iatau Sultan Syamsuddin dan Pangeran Kartawijaya sebagai Sultan Kanoman atau Sultan Badruddin. Pangeran Wangsakerta yang selama ayahnya di Mataram memegang Cirebon tidak diberi gelar Sultan. Keberadaan kesultanan Cirebon menjelang akhir abad ke-17 melalui perjanjian-perjanjian dengan VOC antara lain perjanjian 7 Januari 1681 Kesultanan Cirebon mulai dicampuri politik Kolinial VOC, dan selanjutnya dibidang ekonomi-perdagangan merupakan monopoli VOC, seperti pakain dan opium. Demikian pula ekspor komoditas lada, beras, kayu, gula, dsb. berada ditangan VOC. Perjanjian 8 September 1688 yang ditandatangani Sultan Sepuh I, Sultan Anom, dan Pangeran Tohpati antara lain mengenai pengakuan dan juga pembagian cacah, dipihak kesultanan Cirebon lebih menimbulkan persengketaan. Sejak tahun 1697 kekuasaan keratin Kasepuhan dan Kanoman terbagi lagi atas Kacirebonan dan Kaprabonan.
5.      Kerajaan Banten
            Daerah Bnten pada waktu sebelum tahun 1525/1526 merupakan Kadipaten kerajaan Sunda Pajajaran yang berpusat di Bogor antara sungai Cisadane-Ciliwung dan Cipakancilan. Pakuan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Sunda Pajajaran mempunyai karakter sebagai Negara-Kota (City-State) yang salah satu kegiatan utamanya adalah perdagangan regional dan internasional Pusat Kadipaten Banten di Wahanten Girang (Banten Girang), sebelah barat kota Serang, yang konon diperintah oleh Pucuk Umum.
            Sampai kehadiran Tome Pires (1512-1515) Banten masih merupakan bagian dari kerajaan Sunda Pajajaran dan merupakan salah satu diantara pelabuhan lainnya, seperti Pontang, Ciguide, Tanggerang, Kalapa, Cimanuk, dan Cirebon. Dari pelabuhan Banten diekspor terutama lada dan beras, sebaliknya pelabuhan Banten didatangi para pedagang dari Kepulauan Maladiva, Sumatra, dan lainnya. Sumber Cina, Shun Peng Shsiang Sung (lk.1430 M), berita Ma Huan dalam Ying yai-Sheng-Lan (1433), dalam rute-rute pelayaran dan perdagangan Banten telah disebut-sebut. Hal itu berarti sejak abad ke-15 M pelabuhan Banten sudah merupakan pelabuhan penting yang masuk jaringan pelayaran dan perdagangan “Jalur/Jalan Sutra” (Silk-Road). Berita itu semua dapat dibuktikan oleh temuan sejumlah pecahan keramik dari maa Dinasti Sung sampai Ming dari ± abad ke 10-15 M berasal dari situs Banten Girang. Kota Banten Girang ini menurut Babad/Sajarah Banten direbut oleh muslim di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin, putra Syarif Hidayatullah yang diberi Sengkala, brasta gempung warna tunggal (0041 atau 1400 Saka) (1478 M).
            Atas petunjuk Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati kepada putranya, Maulana Hasanuddin di tempat yang baru dibuat keratin, masjid, alun-alun, pasar, dan kelengkapan lainnya bagi suatu kota. Letak ibukota Surasowan di teluk Banten sangat strategis untuk pertumbuhan dan perkembangan bahkan memuncaknya Kesultanan. Dengan penguasaan Malaka oleh portugis, Banten makin berarti bagi pelayaran dan perdagangan internasional melalui Selat Sunda. Banten bukan hanya berfungsi sebagai pusat politik, perekonomian, dan perdagangan, melainkan juga keagamaan dan kebudayaan. Sejak pemerintahan Maulana Hasanuddin daerah Lampung sudah masuk ke dalam kekuasaan Kesultanan Banten, demikian pula Jayakarta semula bernama Kalapa dan sejak tahun 1527 berada ditangan Fadhillah masuk bagian Kesultanan Banten. Lebih-lebih setelah Jayakarta dibawah pemerintahan Maulana Yusuf, Kesultanan Banten mengalami kemajuan dalam bidang pembangunan kota, desa-desa, dan pembuatan persawahan dan perladangan sebagaimana diceritakan Babad/Sejarah Banten. Selain itu pemerintahan Maulana Yusuf ± tahun 1579 juga dapat mengalahkan pusat kerajaan Pajajaran di Pakuan. Setelah ia wafat, penggantinya adalah Maulana Muhammad (1580-1596) yang melakukan serangan terhadap Palembang yang mungkin bermotif ekonomi, tetapi ia gugur dalam peperangan di Palembang sehingga mendapat julukan Panembahan Seda ing Rana. Pada waktu itu kebetulan Banten mulai didatangi bangsa Barat, yaitu Belanda di bawah pimpinan Cornelis deHoutman.
            Pengganti Maulana Muhammad adalah putranya yang masih kecil bernama Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir tahun 1596-1651 yang selama pemerintahannya Kesultanan Banten mulai dirongrong oleh politik kolonialisme Belanda (VOC), tetapi juga selalu dihadapi dengan peperangan. Kesultanan Banten pada masa pemerintahan Sultan Abdulfatah atau Sultan Ageng Tirtayasa mencapai puncaknya dalam bidang politik, perekonomian, perdagangan, keagamaan dan kebudayaan. Dalam bidang politik Kesultanan Bantenterus menerus melawan kolonialisme VOC baik di laut maupun di daratan antara lain terkenal dengan peperangan tahun 1658-1659 di daerah Angke-Tanggerang yang diakhiri dengan perjanjian tanggal 10 Juli 1659 yang terdiri dari 12 pasal. Setelah perjanjian tahun 1659 itu, Sultan Agung Tirtayasa memperkuat pertahanannya dengan cara membuat keratin di Tirtayasa, membuat jalan dari Pontang ke Tirtayasa bahkan juga membuka persawahan di sebelah barat ujung Jawa (Tangerang).

            Dalam perdagangan internasional Kesultanan Banten makin dekembangkan dengan negri-negri Iran, Hindustan, Arab, inggris, prancis, Denmark, Jepang, Pegu, Filiphina, Cina, dan sebagainya. Kemajuan kesultanan Banten dalam bidang perdagangan tersebut bukan hanya tercatat dalam harian Belanda (Daghregisters), tetapi juga dari data temuan banyaknya pecahan keramik dan benda-benda lainnya baik dari Cina, Jepang, bahkan dari Eropa. Kesultanan Banten mulai mengalami kemunduran sejak perang kelompok yang dipimpin putranya, yaitu Sultan Abu Nasr Abdul kahar atau Sultan Haji yang dibantu VOC melawan kekuasaan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa. Akan tetapi dengan jatuhnya Surasowan, serta tertangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa dan terjadinya perjanjian antara Sultan VOC dengan Sultan Abu Nasr Abdul Kahar tanggal 17 April 1684, berakibat Sultan Haji harus mengganti kerugian 12.000 ringgit dan pendirian Benteng Speelwijk. Akibat lebih jauh adalah baik dibidang politik maupun dibidang ekonomi-perdagangan, masuknya monopoli VOC, Kesultanan Banten praktis tidak berdaya lagi, meskipun gerilya dibawah pimpinan Syekh Yusuf masih terus dilakukan.pergantian Sultan yang dicampuri politik VOC dan masa pendudukan Hindia Belanda selalu menimbulkan pemberontakan-pemberontakan, seperti Kiai Tapa dan Tubagus Buang pada sekitar abad ke-18 dan akhirnya dengan pembuatan jalan Dendels dan tindakan menghancurkan keratin Surasowan dan kemudian mengasingkan Sultan-sultan banten serta dengan tindakan akhir colonial Belanda tahun 1808 menghapuskan pemerintahan Kesultanan menjadi kabupaten-kabupaten Serang, Caringin dan Lebak berada di bawah pimpinan pemerintahan Hindia Belanda. Meski demikian, rakyat Banten di bawah pimpinan Kiai dan Haji senantiasa melakukan pemberontakan, di antaranya pemberontakan petani tahun 1888 di Cilegon di bawah pimpinan Kiai Haji Wasid.


Makam Malik Maulana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar